Dinginnya
pagi menusuk dalam tulang dan membuat seonggok tubuh ini enggan untuk beranjak
dari tempat tidur. Jam beker berdering dengan kencangnya seakan memaksaku untuk
membuka kelopak mata ini. Kulihat jam menunjukkan pukul 05.00 kulaksanakan
kewajibanku menghadap sang kuasa. Kuambil sehelai handuk dan bergegas ke kamar
mandi. Pantulan cermin menggambarkan diri ini telah siap berangkat untuk
mencari sebutir nasi. Tak lupa sebelum berangakat ku cium tangan ayah dan bunda
mengharap ridhonya.
Di
ruangan yang sederhana dengan deretan etalase di kiri dan belakang meja kerja
ku membaca sehelai resep dokter. Terasa asing coretan resep dokter kali ini.
Tercoret di deretan paling atas dr. Pradipta Adrio Dikaputra dan membuat jiwa
ini penasaran dengan sosoknya.
Tak
sadar kaki ini melangkah dengan cepatnya menuju ruangan paling depan yang
tertulis jelas IGD. Kulihat sosok lelaki tampan dengan jas putih dan stetoskop
yang bergelantungan di leher. Kacamata dengan frame hitam membuat dirinya
semakin pantas mendapat gelar dr. di depan namanya. Sadar kuperhatikan sosok
itu menatapku dan melemparkan senyuman. Ku balas senyum menyejukkan itu dan
langsung bergegas keluar dengan rasa malu.
Suara
adzan dzuhur berkumandang tanda umat muslim untuk kembali menghadap sang kuasa.
Di tempat inilah semua karyawan dengan derajat yang setara. Tak membedakan
jabatan dan tak membedakan profesi.
Kulangkahkan
kaki ini menuju masjid di area rumah sakit tepat di samping ruang IGD. Setelah
tiba di teras masjid, ku lepas sepatu ini dan bergegas mengambil air wudhu dan
segera sholat berjamaah dengan yang lainnya.
Saat
ku melipat mukenah telihat sosok lelaki tampan dengan kacamata berframe hitam
yang keluar masjid dari pintu samping. Saatku perhatikan dia adalah dokter
Dipta, ya nama itu yang perawat panggil saat ada pasien. Dan ketika dokter itu
balik badan untuk memakai sandal ia melihatku dan melempar senyuman manis.
Seonggok tubuh ini langsung berasa lemas dan entah apa yang diri ini rasakan.
Seperti ada suntikan sedative yang tubuh ini terima, begitu nyaman begitu
damai.
Malam
semakin larut, tapi entah mengapa mata tak ingin di pejamkan. Jari tangan masih
sibuk menari-nari diatas keyboard mencari nama di sebuah sosial media. Ya benar
diri ini masih penasaran dengan sosok dokter muda yang terlihat di rumah sakit
tadi. Dan akhirnya di layar komputer muncul nama "Pradipta Adrio
Dikaputra" dan tanpa sadar jari tangan ini telah menambahkan dirinya di
pertemanan.
Jam
menunjukkan pukul 13.30 saatnya diri ini bergegas pergi mengabdi demi bakti
profesi di sebuah rumah sakit swasta. Masih tetap dengan jajaran etalase di
sebelah kiri dan belakang meja kerja, merekap coretan-cotetan resep dokter dan
tentu saja pelayanan. Terdengar suara berat dari arah pintu samping dan tak
terduga ternyata dokter Dipta, mimpi apa semalam ucap batin ini.
Hari
berganti hari dan tak terduga diri ini semakin dekat dengan sosok yang bernama
Dipta. Kini ku menyebutnya dengan panggilan Iyo-Rio. Dan Iyo memanggilku dengan
dek Inta. Ya Pramudisha Rhininta Adistyarani. Hubungan ini semakin dekat dengan
tanpa status.
Pagi
ini ku berencana pergi berlibur di area Jogja bersama keluarga. Ingin sekali
Iyo ikut bersamaku tapi takdir berkehendak lain. Dirinya masih di bebankan
dengan kewajiban jas putihnya. Tapi doanya pasti akan selalu bersamaku.
Ketika
pulang berlibur tak lupa kubawakan buah tangan untuk Iyo. Saat itu Iyo dinas
malam dengan jas putihnya dan diri ini dinas pagi dan masih di jajaran etalase
di sebelah kiri dan belakang meja kerja. Saat tiba di rumah sakit Iyo
menyambutku dengan senyuman dan langsung bergegas menyusul diri ini ke bagian
Instalasi Farmasi.
Setiap
melihat sosok itu seonggok tubuh ini selalu lemas dan denyutan dalam dada
terasa kencang seakan ingin meninggalkan tempatnya. Memang Iyo adalah sedative
alami untukku. Setelah menerima buah tangan kecil dariku sosok itu pergi
meninggalkan diri ini. Ingin ku menahannya dan berkata temani diri ini di sini
sekarang dan selamanya.
Hari
ini ku membaca pengumuman di sebuah web resmi perguruan tinggi bahwa diri ini
keterima untuk melanjutkan pendidikan di sebuah universitas di Surabaya. Entah
diri ini harus bahagia atau harus sedih. Memang diri ini ingin sekali
melanjutkan pendidikan dan ini adalah kesempatan emas. Tapi disisi lain diri
ini sudah terlanjur menikmati pekerjaan di rumah sakit dengan mitra kerja yang
nyaman dan mungkin karena diri ini semakin dekat dengan Iyo. Aku sadar bahwa
aku kini mencintai Iyo.
Di
stasiun kereta ini aku menunggu kedatangan Iyo, ini saat terakhir aku bisa
bertemu dengannya karena disisi lain minggu depan Iyo harus mengabdikan
profesinya di wilayah Jambi. Harapan semakin pupus saat kereta tiba dan Iyo
belum ada untuk sekedar say goodbye.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar