Berawal
dari putus asa karena ditolak oleh SMA impian, SMA Negeri 3 Surakarta program Akselerasi,
saya pasrah dengan mengikuti keinginan orang tua saya untuk mendaftar di SMK
Farmasi Nasional Surakarta. Selama saya bersekolah menengah pertama di
Surakarta, saya benar-benar tidak mengetahui bahwa ada SMK tersebut.
Pendaftaranpun diurus oleh ayah saya dan saya diberi kesempatan untuk tes di
sebuah gedung, yang biasa untuk resepsi pernikahan, dengan ratusan peserta
dengan tempat duduk tanpa meja. Entah pertanda apa ini, baru beberapa menit
mengerjakan soal tanpa disengaja bolpen saya menggores LJK yang harusnya
terbebas dari coretan tinta. Saya langsung menemui pengawas ujian dan meminta
LJK yang baru, tetapi pengawas tersebut berkata bahwa tidak apa-apa dilanjutkan
saja mengerjakan di LJK itu. Setelah selesai mengerjakan, saya baru sadar dan berfikir
“yakin nih LJK nya gak kenapa-kenapa? Ntar kalau gak kebaca gimana? Sayudahlah,
urusan”. Mungkin kata “yasudahlah urusan” mewakili bahwa sebenarnya saya tidak
ingin bersekolah di SMK tersebut. Pikir saya, karena saya bersekolah di SMP
Negeri 2 Surakarta program Akselerasi, saya seharusnya melanjutkan sekolah
di SMA saja. Keinginan yang sangat normal sebenarnya. Namun, rencana
Allah bertolak belakang. Beberapa hari setelah tes di SMK tersebut, saya
dinyatakan lolos ujian dan tinggal registrasi ulang. Entah pada saat itu saya
harus senang ataupun sedih.
Tahun
pertama saya jalani dengan “ogah-ogahan” dan masih beranggapan bahwa saya
terdampar di sekolah ini. Ya, sekolah dengan mayoritas siswanya adalah perempuan
dengan gedung 4 lantai. Sekolah yang setiap harinya berangkat sebelum matahari
tinggi dan pulang setelah hampir matahari terbenam. Sungguh saya sangat tidak
nyaman bersekolah di sini, itu ditandai dengan semester pertama nilai raport
saya terdapat angka merahnya. Namun, di tahun kedua saya berfikir “kalau saya
kayak gini terus, saya besok mau jadi apa? Masak sekolah mahal-mahal ga dapet
apa-apa? Kasian orang tua saya yang bekerja banting tulang setiap harinya”. Di
tahun kedua, saya mulai serius dengan apa yang saya jalani, mungkin ini memang
yang terbaik menurut Allah. Dan cara sederhana untuk bersyukur adalah dengan
memanfaatkan kesempatan yang ada. Ya mungkin saya tergolong orang yang
beruntung, karena sebenarnya banyak sekali calon siswa SMK Farmasi Nasional
Surakarta yang ditolak padahal mereka sangat menginginkan untuk diterima,
berbeda sekali dengan saya. Suatu ketika saya mendapatkan “wejangan” dari guru
praktikum resep, Bu Endang namanya, beliau berkata bahwa jika kita ingin merasa
nyaman maka cintai dulu gurunya, cintai dulu teman sebelahnya, cintai dulu meja
praktikumnya, dan cintai dulu Lab Resepnya maka secara otomatis kamu akan
nyaman. Hari demi hari saya mulai belajar mencintai apa yang ada di sekolah
ini. Dari gurunya yang killer, dari mata pelajaran awal yang asing menurut
saya, dan dari kepadatan jadwal sekolahnya. Semakin lama saya semakin nyaman
dan ternyata pada akhirnya saya bisa mencintai sekolah ini. Lebih tepatnya saya
cinta Farmasi. Ini sudah saya buktikan dengan hanya ingin kuliah di jurusan
farmasi saja. Ini saya realisasikan dengan menolak universitas negeri dengan
jurusan bukan farmasi demi Fakultas Farmasi UMS. Saya bangga menjadi anak
Farmasi!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar